Demi menjalankan fungsi dan peran perpustakaan sebagaimana dalam mandat Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007, perpustakaan harus dapat meningkatkan standar mutunya sesuai dengan Standar Nasional Perpustakaan (SNP). Hal tersebut disampaikan Ketua Kelompok Kerja Akreditasi Koordinator Asesor Pusat Perpusnas, Renda Khris Ardhi Artha di kegiatan Bimbingan Teknis Layanan Inklusi dan Perpustakaan Perguruan Tinggi, Ballroom Ibis Bandung Trans Studio Hotel, Selasa 29 Oktober 2024.
Renda menjelaskan, SNP merupakan kriteria minimal yang digunakan sebagai acuan penyelenggaraan, pengelolaan dan pengembangan perpustakaan. Bahkan, akreditasi perpustakaan menjadi pendukung akreditasi perguruan tinggi.
“Standar perpustakaan memberikan arah atau panduan dalam pembinaan dan pengembangan perpustakaan. Semua kriteria dan ukuran dalam penyelenggaraan perpustakaan sudah disiapkan. Ini merupakan bagian dari kegiatan jaminan mutu dalam penyelenggaraan perpustakaan,” ujar Renda.
Beberapa poin yang menjadi penilaian dalam SNP di antaranya standar koleksi, standar sarana prasarana, standar pelayanan, standar tenaga perpustakaan, standar penyelenggaraan perpustakaan, pengelola perpustakaan, inovasi dan kreativitas, tingkat kegemaran membaca, rasio kunjungan dan pemanfaatan koleksi, serta pelibatan masyarakat dalam kegiatan perpustakaan.
“Standar Koleksi Perpustakaan itu berupa koleksi karya tulis, karya cetak, dan karya rekam. Jumlah koleksinya harus lebih dari 2.500 judul. Koleksi terbitan 5 tahun terakhir lebih dari satu persen keseluruhan koleksi. Lalu, koleksinya terdiri dari fiksi, majalah, buletin, tabloid, dan surat kabar paling banyak lima persen dari total judul koleksi,” paparnya.
Kemudian, ia melanjutkan, untuk standar sarana prasarana, ruang perpustakaan minimal memiliki luas 750 meter persegi, ketersediaan perabot (meubelair), dan ketersediaan peralatan (TIK). Lalu, standar pelayanannya meliputi antara lain tujuh jenis layanan perpustakaan, waktu pelayanan lebih dari 45 jam, serta adanya kunjungan dan pemanfaatan koleksi.
“Selain akreditasi, ada hal penting lain yang harus dimiliki oleh perpustakaan, yakni signature. Artinya kita harus punya pembeda. Saat orang datang ke perpustakaan kita, lalu dia upload di media sosial, orang lain langsung tahu kalau tempat yang sedang dikunjungi itu adalah perpustakaan kita. Maka, perlu adanya inovasi dan kreativitas dalam sarana prasarana perpustakaan,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, pasca akreditasi perpustakaan terdapat beberapa kegiatan yang perlu diperhatikan dan dijalankan, seperti surveilans, peningkatan predikat akreditasi perpustakaan, dan re-akreditasi perpustakaan.
Renda memaparkan, surveilans dilakukan dengan peninjauan perpustakaan terakreditasi untuk mengetahui konsistensi penerapan SNP dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan, paling sedikit satu kali dalam masa berlaku Sertifikat Akreditasi (Pasal 17).
“Lalu, perpustakaan terakreditasi dapat mengajukan permohonan peningkatan predikat Akreditasi Perpustakaan kepada sekretariat Akreditasi Perpustakaan dan diajukan paling cepat satu tahun sejak Sertifikat Akreditasi diterbitkan (Pasal 18),” lanjutnya.
Terakhir, Re-Akreditasi Perpustakaan yakni perpustakaan terakreditasi harus mengajukan permohonan re-Akreditasi Perpustakaan dalam jangka waktu enam bulan sebelum berakhir masa berlaku Sertifikat Akreditasi.
Ia berharap agar perpustakaan di perguruan tinggi bisa semakin berkembang dan menjadi tempat yang nyaman bagi para pengunjung terutama mahasiswa.